Salah satu pendekatan terbaru dalam kajian Ilmu al-Qur'an dan Tafsir adalah kajian pragmatik. Asumsi dasar ilmu pragmatik merupakan kajian yang memperlakukan makna bahasa sebagai relasi yang melibatkan tiga segi (triadic), yaitu hubungan tiga arah yang melibatkan bentuk. Makna dan konteks, baik berupa konteks personal yang juz'i-partikular (asbab al-nuzul ‘ammah).
Buku ini mengekspolasi kisah Maryam dalam al-Qur'an dengan menggunakan teori pragmatik yang berorientasi pada appropriateness in meaning dalam kategori perubahan realitas Makki-Madani. Kalimat huwa ‘alayya hayyin dan wa kana amran maqdiyyah dalam QS Maryam [19]: 20-21 yang berbentuk peringatan (al-indhar) pada fase Mekkah mengalami perubahan redaksi berbentuk ajaran (al-risalah) pada fase Madnah berupa kalimat yakhluqu ma yasha' dan idha qada amran dalam QS Ali ‘Imran [03]: 47. Kecuali itu, terdapat pula orientasi appropriateness in form dalam kategori perubahan bentuk redaksi. Misalnya, redaksi QS Maryam [19]: 21 yang turun pada fase Mekkah berupa ayat wa kana amran maqdiyyan yang bergaya ijaz, ternyata mengalami perubahan redaksi bergaya itnab pada QS Ali ‘Imran;47 yang turun di Fase Madinah berupa kalimat idha qada amran fa innama yaqulu lahu kun fayakun.
Kisah Maryam dalam al-Qur'an dalam teori pragmatik juga memuat pesan-pesan keagamaan perspektif gender, meliputi psikologi kepribadian introvet Maryam dalam QS Maryam (19); 23; akses perlawanan terhadap tradisi missoginis dalam QS Ali ‘Imran (03): 36, akses teologis-edukatif dalam QS Ali ‘Imran (03);35, akses spiritualitas di wilayah publik dalam QS Ali ‘Imran (42), akses perlawanan pelecehan seksualitas dalam QS Maryam (19); 18, akses pencegahan gizi buruk pada anak-anak dalam QS Maryam (19): 25, serta konsep single parent dan konsep parenting dalam QS Ali ‘Imran [03]: 36 dan QS Maryam [29]: 22-26.